Kura-kura dan penyu adalah hewan bersisik berkaki empat yang termasuk golongan reptil. Bangsa hewan yang disebut (ordo) Testudinata (atau Chelonians) ini khas dan mudah dikenali dengan adanya ‘rumah’ atau batok (bony shell) yang keras dan kaku.
Batok kura-kura ini terdiri dari dua bagian. Bagian atas yang menutupi punggung disebut karapas (carapace) dan bagian bawah (ventral, perut) disebut plastron. Kemudian setiap bagiannya ini terdiri dari dua lapis. Lapis luar umumnya berupa sisik-sisik besar dan keras, dan tersusun seperti genting; sementara lapis bagian dalam berupa lempeng-lempeng tulang yang tersusun rapat seperti tempurung. Perkecualian terdapat pada kelompok labi-labi (Trionychoidea) dan jenis penyu belimbing, yang lapis luarnya tiada bersisik dan digantikan lapisan kulit di bagian luar tempurung tulangnya.
Dalam bahasa Indonesia, kita mengenal tiga kelompok hewan yang termasuk bangsa ini, yalah penyu (bahasa Inggris: sea turtles), labi-labi atau bulus (freshwater turtles), dan kura-kura (tortoises). Dalam bahasa Inggris, dibedakan lagi antara kura-kura darat (land tortoises) dan kura-kura air tawar (freshwater tortoises atau terrapins).
Batok kura-kura ini terdiri dari dua bagian. Bagian atas yang menutupi punggung disebut karapas (carapace) dan bagian bawah (ventral, perut) disebut plastron. Kemudian setiap bagiannya ini terdiri dari dua lapis. Lapis luar umumnya berupa sisik-sisik besar dan keras, dan tersusun seperti genting; sementara lapis bagian dalam berupa lempeng-lempeng tulang yang tersusun rapat seperti tempurung. Perkecualian terdapat pada kelompok labi-labi (Trionychoidea) dan jenis penyu belimbing, yang lapis luarnya tiada bersisik dan digantikan lapisan kulit di bagian luar tempurung tulangnya.
Dalam bahasa Indonesia, kita mengenal tiga kelompok hewan yang termasuk bangsa ini, yalah penyu (bahasa Inggris: sea turtles), labi-labi atau bulus (freshwater turtles), dan kura-kura (tortoises). Dalam bahasa Inggris, dibedakan lagi antara kura-kura darat (land tortoises) dan kura-kura air tawar (freshwater tortoises atau terrapins).
Chelidae, kura-kura leher ular
Suku ini dinamai demikian karena kebanyakan anggotanya memiliki leher yang panjang. Karena tak dapat ditarik masuk, kepala kura-kura ini hanya dilipat menyamping di sisi tubuhnya di bawah lindungan pinggiran tempurung badannya.
Suku kura-kura leher ular menyebar terutama di Papua dan Australia serta pulau-pulau di sekitarnya, dan di Amerika Selatan. Di luar tempat-tempat tersebut ditemukan pula di Pulau Rote, Nusa Tenggara. Habitat kura-kura ini adalah perairan tawar. Beberapa jenisnya yang ada di Indonesia, di antaranya:
* Kura-kura rote (Chelodina mccordi)
* Kura-kura papua (Chelodina novaeguineae)
* Kura-kura perut putih (Elseya branderhosti)
Suku ini dinamai demikian karena kebanyakan anggotanya memiliki leher yang panjang. Karena tak dapat ditarik masuk, kepala kura-kura ini hanya dilipat menyamping di sisi tubuhnya di bawah lindungan pinggiran tempurung badannya.
Suku kura-kura leher ular menyebar terutama di Papua dan Australia serta pulau-pulau di sekitarnya, dan di Amerika Selatan. Di luar tempat-tempat tersebut ditemukan pula di Pulau Rote, Nusa Tenggara. Habitat kura-kura ini adalah perairan tawar. Beberapa jenisnya yang ada di Indonesia, di antaranya:
* Kura-kura rote (Chelodina mccordi)
* Kura-kura papua (Chelodina novaeguineae)
* Kura-kura perut putih (Elseya branderhosti)
Kura-kura berleher ular dari Pulau Roti (Chelodina mccordi) -- kura-kura kecil berleher panjang -- yang hanya ditemukan di lahan basah di Pulau Roti, bagian timur Indonesia diambang kepunahan karena tinggingnya permintaan internasional untuk spesies itu.
Pernyataan tersebut dikemukakan oleh perwakilan dari World Wildlife Fund (WWF) Desmarita Murni di Jakarta, Jumat.
Kura-kura endemik tersebut, kata dia, telah menjadi spesies baru sejak 1994, dan populasinya terus menurun akibat perdagangan internasional ilegal.
Menurut dia, tidak ada perdagangan resmi yang diizinkan untuk spesies itu sejak 2001. Namun deskripsi yang ada menunjukkan, spesies itu diekspor secara tidak resmi sebagai spesies yang lain, yaitu kura-kura berleher ular dari New Guinea (C. novaeguineae), yang merupakan spesies dilindungi di Indonesia sejak 1980.
Laporan terbaru yang dikeluarkan TRAFFIC (jaringan pemantau perdagangan satwa dan tumbuhan liar) berjudul "Perdagangan Kura-Kura Berleher Ular dari Pulau Roti Chelodina mccordi" menemukan bahwa penangkapan dan perdagangan satwa ini tidak dilaksanakan berdasarkan peraturan resmi yang berlaku di Indonesia.
Meskipun, lanjut dia, sebelumnya ada kuota nasional yang diberikan untuk pemanenan dan ekspor spesies C. mccordi antara tahun 1997 dan 2001, tetapi tidak ada lisensi yang dikeluarkan untuk melakukan koleksi (pengumpulan), termasuk tidak ada izin pemindahan (transportasi) yang dikeluarkan dari tempat sumber spesies ini ke tempat-tempat ekspor dalam wilayah Indonesia.
Menurut WWF, semua specimen C. mccordi yang telah diekspor sejak 1994 dilakukan secara illegal.
Sebagai bukti, terancamnya kelangsungan spesies tersebut, pada 2000 daftar Merah IUCN (International Union for Conservation of Nature) mengkategorikan spesies itu kedalam status kritis (critically endangered), dan pada tahun yang sama kura-kura berleher ular dari Pulau Roti itu dievaluasi berada diambang kepunahan.
Spesies itu, kata dia, masuk dalam daftar Appendix II Konvensi Mengenai Perdagangan Internasional Terhadap Species Satwa dan Tumbuhan Dilindungi (CITES), dimana semua perdagangan internasional terhadap satwa ini harus dilaksanakan sesuai sistem resmi yang berlaku.
Walaupun begitu di Indonesia, lanjut dia, monitoring dan penegakan hukum untuk melindungi satwa liar dari eksploitasi berlebihan sangat lemah dan di beberapa tempat tidak terlihat.
Padahal, jika peraturan-peraturan, misalnya untuk penangkapan dan pemindahan satwa liar ini tidak ditegakkan, keberadaan spesies tersebut di alam dipastikan akan punah dalam waktu dekat.
Oleh karena itu, salah satu elemen penting untuk melindungi satwa tersebut adalah peningkatan kesadaran dan pengetahuan aparat terkait.
"Kami berharap dengan meningkatnya kapasitas dan kesadartahuan aparat penegak hukum, akan semakin sulitlah bagi pemburu dan pedagang liar untuk menyelundupkan kura-kura berkepala ular yang tersisa di Pulau Roti," kata Chris Shepherd dari TRAFFIC Asia Tenggara yang juga merupakan penulis laporan itu.
Untuk melindungi kura-kura berleher ular itu, Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) juga bekerja sama dengan LIPI, sebagai Otoritas Ilmiah CITES (Konvensi Mengenai Perdagangan Internasional Terhadap Species Satwa dan Tumbuhan Dilindungi) di Indonesia, untuk memasukkan kura-kura berleher ular dari Pulau Roti ke dalam daftar spesies yang dilindungi penuh.
Pernyataan tersebut dikemukakan oleh perwakilan dari World Wildlife Fund (WWF) Desmarita Murni di Jakarta, Jumat.
Kura-kura endemik tersebut, kata dia, telah menjadi spesies baru sejak 1994, dan populasinya terus menurun akibat perdagangan internasional ilegal.
Menurut dia, tidak ada perdagangan resmi yang diizinkan untuk spesies itu sejak 2001. Namun deskripsi yang ada menunjukkan, spesies itu diekspor secara tidak resmi sebagai spesies yang lain, yaitu kura-kura berleher ular dari New Guinea (C. novaeguineae), yang merupakan spesies dilindungi di Indonesia sejak 1980.
Laporan terbaru yang dikeluarkan TRAFFIC (jaringan pemantau perdagangan satwa dan tumbuhan liar) berjudul "Perdagangan Kura-Kura Berleher Ular dari Pulau Roti Chelodina mccordi" menemukan bahwa penangkapan dan perdagangan satwa ini tidak dilaksanakan berdasarkan peraturan resmi yang berlaku di Indonesia.
Meskipun, lanjut dia, sebelumnya ada kuota nasional yang diberikan untuk pemanenan dan ekspor spesies C. mccordi antara tahun 1997 dan 2001, tetapi tidak ada lisensi yang dikeluarkan untuk melakukan koleksi (pengumpulan), termasuk tidak ada izin pemindahan (transportasi) yang dikeluarkan dari tempat sumber spesies ini ke tempat-tempat ekspor dalam wilayah Indonesia.
Menurut WWF, semua specimen C. mccordi yang telah diekspor sejak 1994 dilakukan secara illegal.
Sebagai bukti, terancamnya kelangsungan spesies tersebut, pada 2000 daftar Merah IUCN (International Union for Conservation of Nature) mengkategorikan spesies itu kedalam status kritis (critically endangered), dan pada tahun yang sama kura-kura berleher ular dari Pulau Roti itu dievaluasi berada diambang kepunahan.
Spesies itu, kata dia, masuk dalam daftar Appendix II Konvensi Mengenai Perdagangan Internasional Terhadap Species Satwa dan Tumbuhan Dilindungi (CITES), dimana semua perdagangan internasional terhadap satwa ini harus dilaksanakan sesuai sistem resmi yang berlaku.
Walaupun begitu di Indonesia, lanjut dia, monitoring dan penegakan hukum untuk melindungi satwa liar dari eksploitasi berlebihan sangat lemah dan di beberapa tempat tidak terlihat.
Padahal, jika peraturan-peraturan, misalnya untuk penangkapan dan pemindahan satwa liar ini tidak ditegakkan, keberadaan spesies tersebut di alam dipastikan akan punah dalam waktu dekat.
Oleh karena itu, salah satu elemen penting untuk melindungi satwa tersebut adalah peningkatan kesadaran dan pengetahuan aparat terkait.
"Kami berharap dengan meningkatnya kapasitas dan kesadartahuan aparat penegak hukum, akan semakin sulitlah bagi pemburu dan pedagang liar untuk menyelundupkan kura-kura berkepala ular yang tersisa di Pulau Roti," kata Chris Shepherd dari TRAFFIC Asia Tenggara yang juga merupakan penulis laporan itu.
Untuk melindungi kura-kura berleher ular itu, Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) juga bekerja sama dengan LIPI, sebagai Otoritas Ilmiah CITES (Konvensi Mengenai Perdagangan Internasional Terhadap Species Satwa dan Tumbuhan Dilindungi) di Indonesia, untuk memasukkan kura-kura berleher ular dari Pulau Roti ke dalam daftar spesies yang dilindungi penuh.
No Response to "Penyu Leher Ular Yang Hampir Punah !!"
Posting Komentar